28 Des 2011

AYAT-AYAT MENGENAI KEUTAMAAN INFAQ/SEDEKAH

AYAT-AYAT MENGENAI KEUTAMAAN INFAQ/SEDEKAH

“Kitab ini (Al Qur-an) adalah petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian dari yang telah Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan kepada kitab-kitab sebelummu dan terhadap hari akhirat mereka yaqin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Al Baqoroh,2:2-5)

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat itu suatu kebaktian (yang sempurna), akan tetapi sesungguhnya kebaktian (yang sempurna) orang yang beriman kepada ALLAH, dan kepada Nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, orang-orang yang meminta-minta dan membebaskan hamba sahaya, dan mendirikan sholat serta menunaikan zakat.” (QS 2:177)

“Dan berinfaqlah di jalan ALLAH, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah, sungguh ALLAH menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS2:195)

“Mereka bertanya kepadamu berapa banyak harta yang harus diinfakan? Katakanlah, apa yang lebih dari keperluan.” (QS2:219)

“Siapa yang mau memberi pinjaman kepada ALLAH dengan pinjaman yang baik, maka ALLAH akan melipatgandakan balasan kepadanya berkali lipat. Dan ALLAH lah yang menyempitkan dan melapangkan rizqi, dan kepadaNYAlah kamu dikembalikan.” (QS2:245)

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakanlah sebagian rizqi yang telah KAMI berikan kepadamu sebelum datang hari yang tiada jual beli lagi dan tidak ada persahabatan dan tidak ada lagi syafa’at (melainkan dengan izin ALLAH).” (QS2:254)

“Perumpamaan orang yang menginfakan hartanya di jalan ALLAH, adalah seumpama biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai berisi seratus biji. Dan ALLAH melipatgandakan (balasan) bagi siapa yang dikehendakiNYA, dan ALLAH Maha Luas karuniaNYA lagi Maha Terpuji.” (QS2:261)

“Orang-orang yang menginfakan hartanya di jalan ALLAH dan ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit pemberian itu dan menyakiti (perasaan penerima); mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak mereka berduka cita. Perkataan yang baik* dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakitkan. ALLAH Maha Kaya, Maha Penyantun.Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada ALLAH dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperole sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan ALLAH tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS2:262-264)
* = Perkataan yang baik, menolak dengan cara yang baik. Dan pemberian maaf ialah memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari peminta.

“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu*, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang faqir maka itu lebih baik bagimu; dan ALLAH akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. ALLAH Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS2:271)
* = Menampakkan sedekah agar dicontoh orang lain bukan untuk riya’

“Orang-orang yang menginfakan hartanya di waktu malam dan siang secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada ketakutan atas mereka dan tiada pula mereka berduka cita.” (QS2:274)

“ALLAH memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah* ALLAH tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa*” (QS2:276)
* = Memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu/meniadakan berkahnya. Dan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya.
*" = Orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.

“Kamu tidak akan sampai pada kebaktian (yang sempurna) sehingga kamu menginfakan harta yang kamu cintai…” (QS. Ali Imron,3:92)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.Yaitu orang-orang yang menginfakan (hartanya) di waktu lapang dan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan ALLAH menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS3:133-134)

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bila disebut nama ALLAH bergetarlah hati mereka, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNYA, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhannya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakan sebagian rizqi yang Kami karuniakan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya. Mereka akan memperoleh derajat-derajat (kehormatan) di sisi Tuhannya, ampunan dan rizqi yang mulia.” (QS Al-Anfal,8:2-4)

“Katakanlah kepada hamba-hambaku yang beriman, ‘Hendaklah mereka mendirikan sholat, menginfakan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, sebelum datang suatu hari yang tiada jual beli dan persahabatan.” (QS Ibrohim,14:31)

“…dan gembirakanlah orang-orang yang taat (merendahkan diri di hadapan ALLAH), yaitu orang-orang yang bila disebut nama ALLAH bergetarlah hati mereka dan orang-orang yang bersabar atas apa yang menimpa mereka dan orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Al Hajj,22:34-35)

“Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya sedang hati mereka takut, sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya. Orang-orang inilah yang bersegera kepada kebaikan-kebaikan dan merekalah yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS Al Mu-minun,63:60-61)

“Dan janganlah bersumpah orang-orang yang mempunyai kemuliaan dan kelapangan di antara kamu bersumpah untuk tidak menyantuni kerabat-kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan ALLAH, tetapi hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa ALLAH akan mengampuni kamu? Dan ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nur,24:22)

“Lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka (*untuk sholat malam), seraya mereka menyeru Tuhannya dengan perasaan takut dan penuh harap dan mereka menginfakan rizqi yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu berbagai kenikmatan yang menyenangkan hati sebagai balasan atas yang telah mereka kerjakan.” (QS As Sajdah, 32: 16-17)

“Katakanlah, “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizqi bagi siapa yang dikehendakiNYA di antara hamba-hambaNYA dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendakiNYA. Dan apapun yang kamu infakan dari sesuatu, maka DIA menggantinya dan DIA sebaik-baik pemberi rizqi.” (QS Saba,34:39)

“Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab ALLAH, mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rizqi yang KAMI berikan kepada mereka secara diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan rugi, agar ALLAH menyempurnakan kepada mereka pahalanya dan menambah kepadanya sebagian dari karuniaNYA. Sesungguhnya DIA Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Fathir:29-30)

“Dan orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat dan urusan mereka diselesaikan dengan musyawarah di antara mereka dan mereka menginfakan sebagian rizqi yang KAMI berikan kepada mereka.” (QS As-Syuro,42:38)

“Dan pada harta-harta mereka ada haq untuk orang-orang yang meminta-minta dan orang yang tidak meminta.” (QS Adz-Dzariyat,51:19)

“Berimanlah kamu kepada ALLAH dan RosulNYA dan infakkanlah sebagian hartamu yang mana DIA menjadikan kamu sebagai ganti kepemilikannya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakan (sebagian) hartanya, bagi mereka pahala yang besar.” (QS Al-Hadid,57:10)

“Dan mengapa kamu tidak menginfakan (hartamu) di jalan ALLAH, padahal milik ALLAH pusaka langit dan bumi. Tidak sama di antara kamu orang yang menginfakan (hartanya) da berperang sebelum kemenangan (*futtuh Makkah). Mereka itu lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkannya dan berperang sesudahnya. Dan kepada masing-masing ALLAH janjikan (balasan) yang lebih baik. Dan ALLAH Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hadid, 57:10)

“Siapa yang memberi pinjaman kepada ALLAH dengan pinjaman yang baik maka ALLOH akan melipatgandakan balasanNYA dan baginya pahala yang mulia.” (QS Al Hadid,57:11)

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada ALLAH pinjaman yang baik niscaya akan dilipatkangandakan (balasan) bagi mereka dan baginya pahala yang mulia.” (QS Al Hadid,57:18)

“Dan (dalam hal ini juga ada hak-hak) bagi orang-orang (Anshor) yang menempati rumah (di Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka menyayangi orang-orang yang hijrah kepada mereka, dan di dalam dada mereka tidak ada suatu keinginanpun terhadap apapun yang telah diberikan (harta rampasan) kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) di atas (kepentingan) mereka walaupun mereka dalam kesusahan. Dan barangsiapa yang terpelihara dari sifat kikir, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS Ql Hasyr,59:9)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat ALLAH. Dan barangsiapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang KAMI berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, kenapa tidak ENGKAU tangguhkan (kematian)ku kepada ajal yang dekat (beberapa saat saja) maka aku akan bersedekah dan jadilah aku termasuk orang-orang sholih’. Dan ALLAH tidak akan menangguhkan kepada seseorang apabila telah datang ajalnya. Dan ALLAH Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Munafiqun,63:9-11)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada ALLAH dan hendaklah (tiap-tiap) diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok (Akhirat), dan bertaqwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan ALLAH, maka ALLAH menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq. Tidak sama penghuni neraka dengan penghuni Jannah. Penghuni Jannah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al Hasyr,59:18-20)

“Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah ujian. Dan di sisi ALLAH pahala yang besar. Maka bertaqwalah kamu kepada ALLAH menurut kesanggupanmu, dan dengarlah dan taatlah, dan infakanlah (harta)mu, itulah yang lebih baik bagi dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kebakhilan dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS At Taghobun,64:15-16)

“Jika kamu meminjamkan kepada ALLAH suatu pinjaman yang baik, niscaya DIA lipat gandakan (balasannya) bagi kamu dan DIA mengampuni kamu. Dan ALLAH Maha Mensyukuri lagi Maha Penyantun. Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At Taghobun,64:17-18)

“Tegakkanlah sholat, tunaikan zakat, dan berikan pinjaman kepada ALLAH sebagai pinjaman yang baik (sedekah). Dan kebaikan apapun yang kamu perbuat untuk diri kamu, niscaya kamu memperoleh (balasannya) di sisi ALLAH, itulah sebaik-baik dan sebesar-besar pahala. Dan mohon ampunlah kepada ALLAH, sesungguhnya ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Muzammil:20)

“Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (*nama suatu mata air di Jannah yang airnya putih dan baunya sedap serta enak sekali rasanya). (Yaitu) mata air (dalam Jannah) yang diminum oleh hamba-hamba ALLAH dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan, (sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhoan ALLAH, kami tidak mengharap balasan dan terimakasih darimu. Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah musam penuh kesulitan. Maka ALLAH melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan. Dan DIA memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) Jannah dan (pakaian) sutera. Di sana mereka duduk bersandar di atas dipan, di sana mereka tidak melihat (merasakan teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang berlebihan. Dan naungan (pepohonan)nya dekat di atas mereka dan dimudahkan semudah-mudahnya untuk memetik (buah)nya. Dan kepada mereka diedarkan bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana Kristal, Kristal yang jernih terbuat dari perak, mereka tentukan ukurannya yang sesuai (dengan kehendak mereka). Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air (di Jannah) yang dinamakan Salsabil Dan mereka dikelilingi oleh para pemuda yang tetap muda. Apabila kamu melihatnya, akan kamu kira mereka mutiara yang bertaburan. Dan apabila engkau melihat (keadaan) di sana (Jannah), niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan besar. Mereka berpakaian dengan sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan memakai gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih (dan suci). Inilah balasan untukmu, dan segala usahamu diterima dan diakui (ALLAH). (QS Al Insan,76:5-22)

“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya dan yang mengingat nama Tuhannya lalu dia sholat. Tetapi kamu lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al A’la,87:14-17)

KEAJAIBAN BERSEDEKAH

Diceritakan ketika Nabi Ayyub AS sedang mandi, tiba-tiba Allah SWT mendatangkan seekor belalang emas dan hinggap di lengannya. Baginda menepis-nepis lengan bajunya agar belalang itu bisa jatuh.  Allah SWT memperhatikan itu dan berfirman kepada Nabi Ayyub AS :
“Bukankah  Aku lakukan itu supaya kamu akan lebih kaya ? “. Nabi Ayub menyahut  lembut:  “Ya, benar wahai Sang Pencipta, demi keagunganMu,  apalah makna kekayaan itu tanpa keber kahanMu”. Kisah ini dengan jelas menegaskan betapa pentingnya keberkahan dalam rezeki yang dikucurkan oleh Allah SWT kepada kita para hambaNya.

              Rasulullah SAW juga sering menganjurkan kepada kita ummatnya untuk tidak menunda sedekah. Bersabda Rasulullah : “Bersegeralah bersedekah sebab yang namanya bala tidak akan bisa mendahului sedekah“. (HR. Imam Baihaki).
Dalam hadis lain Rasulullah juga Bersabda : “Kelak di hari kiamat orang-orang mukmin akan   dipayungi dengan sedekah “ (HR. Ibnu Huzaimah).        
              Bahkan Rasulullah SAW pernah menjelaskan kepada para sahabatnya bahwa pada setiap awal pagi, ketika mulai terbit matahari ada dua malaikat menyeru kepada manusia yang ada di bumi. Malaikat yang satu menyeru : “Ya Tuhanku, karuniakanlah ganti kepada orang yang membelanjakan hartanya karena Allah”. Dan malaikat yang lain menyeru : “Musnahkanlah orang yang menahan hartanya “.
              Sedekah walaupun kecil amat berharga di sisi Allah SWT. Orang yang bakhil dan kikir yang enggan mensedekahkan sebagian hartanya akan merugi di dunia dan di akhirat karena tidak adanya keberkahan. Sedekah bagi yang menjalankannya sesungguhnya akan mendatangkan keberkahan bagi dirinya. Sedekah memiliki keutamaan bagi orang yang mengamalkannya.

Pertama : Sedekah menyebabkan kita tidak akan kekurangan rezeki.
Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi : “Hai Anak Adam, bersedekahlah, karena pasti akan dicukupkan (diberikan) nafkah (rezeki) atasmu“. (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Kedua : Sedekah akan dapat menambah harta bagi yang mengamalkannya.
Rasulullah SAW bersabda : “ ......... dan amal sedekah itu hanyalah akan menambah seseorang makin banyak hartanya, maka bersedekahlah kalian, niscaya Allah SWT akan melimpahkan rakhmatNya kepada kalian. (HR. Abu Dun’ya). Bahkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib mengatakan : “ Pancinglah rezeki dengan sedekah “.

Ketiga : Sedekah dapat menghapus kesalahan(dosa).
Rasulullah SAW bersabda : ”Sedekah dapat memadamkan kesalahan seperti air memadamkan api “. (HR. Abu Ya’la)

Keempat : Sedekah dapat menjadi obat kalau kita menderita sakit.
Rasulullah SAW bersabda : “ ........ obatilah penyakitmu dengan sedekah..... “ (HR. Imam Thabrani,Imam Baihaki).

Kelima : Sedekah bisa menolak bala, menghindari petaka dan celaka.
Rasulullah SAW bersabda : “ Bersegeralah bersedekah karena yang namanya bala tidak akan bisa mendahului sadakah“.  (HR. Imam Baihaki).

Keenam : Sedekah akan menjadi peneduh di hari akhir bagi  hambaNya yang beriman.
Rasulullah SAW bersabda : “Semua orang berteduh dibawah naungan sedekahnya sampai dia diadili diantara ummat manusia “. (HR. Imam Ahmad, Ibnu Hiban).

Demikian banyak keutamaan sedekah itu, hingga tidak ada henti-hentinya Sang Pemilik Alam dan mahlukNya  mengucurkan karuniaNya kepada kita para hambaNya. Bahkan Rasulullah SAW juga menyampaikan pesannya kepada para sahabatnya bahwa dengan bersedakah akan dapat memperpanjang umur kita.
Kemudian bagaimanakah keajaiban sedekah itu?. Allah SWT memiliki hak mutlak untuk mengatur para hambaNya. Bagi kita tinggal bagaimana kita membangun keikhlasan dalam hati kita. Kepasrahan kita dalam penyerahan diri kepadaNya  Sebagaimana yang selalu kita ikrarkan dihadapanNya dalam setiap shalat kita. “Aku hadapkan wajahku kepadaNya Sang Pemilik jagat raya. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya kepada Allah SWT”.

Mari kita simak kisah seorang hamba Allah yang pernah dimuat dikoran beberapa waktu yang lalu : “Saya yakin betul keampuhan do’a orang-orang yang teraniaya. Empat belas tahun silam saya menderita sakit jantung koroner. Dokter di RS Harapan Kita telah memutuskan saya harus operasi. Tetapi saya katakan kepada para dokter, saya minta waktu  4 sampai 5 hari untuk menjalani operasi. Saya ingin berbuat baik kepada kepada kaum dhuafa. Saya lalu minta didatangkan tiga ustadz dari daerah yang berbeda. Saya menitipkan uang melalui mereka agar disampaikan kepada orang-orang yang teraniaya di daerahnya. Dua tiga hari kemudian mereka datang dan melaporkan bahwa uang tersebut telah disalurkan kepada orang-orang yang berhak. Saya kemudian mengatakan kepada dokter, bahwa saya siap dioperasi. Begitu dibawa ke ruang operasi, tubuh saya disinari laser  - terjadi keajaiban – saluran yang tersumbat ternyata tidak tersumbat lagi. Dokter memutuskan saya tidak jadi dioperasi. Padahal kondisi saya sudah sangat parah. Dari segi biaya kalau operasi itu dilakukan saya akan membutuhkan biaya ratusan juta rupiah. Sampai sekarang penyakit jantung koroner saya hilang. Saya berkesimpulan bahwa yang penting adalah keihklasan. Ketika itu saya ikhlas betul-betul. Saya betul-betul membuktikan pertolongan ALLAH melalui do’a orang-orang yang teraniaya“.

Kisah ini merupakan suatu keajaiban yang menjadi rahasia Tuhan. Seperti yang dipesankan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya kepada ummatnya agar mengobati penyakit dengan sedekah.

27 Des 2011

MANAJEMEN CEMBURU

Allah Swt. berfirman: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari simpati istri-istrimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim:1)


Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan rasa cemburu pada diri wanita dan jihad pada diri laki-laki. siapa diantara wanita tadi yang sabar dalam menghadapinya dengan penuh iman dan ihtisab, maka baginya pahala seperti orang yang mati syahid". ( Hadits riwayat Thabrani )


Nabi saw bersabda "Sesungguhnya aku sangat cemburu, dan tiada seorangpun yang tidak cemburu melainkan terbalik hatinya". ( Hadits riwayat Al Bazzar dan Daruquthni )

Belakangan ini semakin banyak kaum ibu baik kalangan umum maupun kalangan aktivis atau istri aktivis dakwah (ummahat) yang sedang dihinggapai rasa was-was dan ada sebagian yang semakin panas dibakar api cemburu pada sang suami gara-gara banyak kalangan bapak-bapak aktivis (abi-abi) yang getol melontarkan isu ta’addud yang sebenarnya bukan sekadar bahan pembicaraan, namun secara riil telah menjadi semacam teror, monster maupun momok bagi kaum ibu meskipun hal itu di pikiran para suami mungkin sekadar intermezzo, canda, iseng, cerita lepas tetapi memang tidak dipungkiri ada sebagian mereka yang sengaja menggencarkan isu tersebut sebagai upaya sistemik bagi semacam ‘pemanasan’, mukadimah, ‘conditioning’ (pengkondisian) ataupun apalah namanya yang penting istri mereka terbiasa mendengar wacana ataupun fenomena itu dengan harapan lama-lama kebal dan biasa sehingga bila tiba saatnya terjadi kenyataan dialami suami mereka tidak kaget ataupun protes lagi, hanya sekadar memaklumi saja.

Keresahan dan kecemburuan kalangan ummahat tersebut tidak jarang juga dipicu dan ‘dikomporin’ oleh cerita yang bersumber dari suami mereka, berita media massa ataupun kabar burung, gosip dan rumpian para ummahat bahwa suami si anu nikah lagi, si aktivis anu sedang dalam proses ta’addud. Api kecemburuan tersebut semakin berkobar dan kewaspadaan ditingkatkan menjadi waspada satu atau situasi stadium gawat darurat karena semakin hari semakin bertambah panjang deretan koleksi nama-nama keluarga yang memekar menjadi berbilang. Alasan mereka sih sah-sah saja kan diperbolehkan syariah terlepas dari tepat tidaknya untuk kondisi mereka. ‘Nikah lagi, siapa takut’ demikian seloroh sementara ikhwan dan dibalas sang istri sambil tersungut; “pergi, sono deh…! siapa takut....! Satu aja nggak keurus dengan adil....!!!”
Saya merasa tidak perlu membahas masalah ta’addud, melainkan saya ingin mengkaji fenomena lain seputar cinta dan pernikahan yakni kecemburuan atau rasa cemburu.

Kecemburuan yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut jealousy merupakan gejala fitrah, wajar dan alamiah dari seseorang sebagai rasa cinta, sayang dan saling memiliki, melindungi (proteksi) dan peduli. Namun pada kenyataan keseharian rasa, cemburu tidak jarang mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, norak, egois, curiga dan sebagainya. Memang pada umumnya, akan terasa menyesakkan dan hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan bila seorang wanita selalu dibayangi perasaan cemburu. 

Seorang wanita bijak pernah berkata, “Aku pernah mendapati seorang teman yang begitu menderita, banyak mengeluh, pencemburu, karena suaminya sering bepergian. Ia juga merasa cemburu ketika suaminya membuat janji dengan rekan kerja, sedang menelpon atau sedang menulis surat, atau bahkan ketika sedang termangu dan tersenyum malu. Ia merasa yakin bahwa dalam pikiran suaminya pada saat itu terdapat wanita lain.”

Kondisi pikiran dan kejiwaan seperti ini timbul dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal mungkin karena ia tidak mampu mengendalikan kecemburuan dan potensi kewaspadaannya dengan bijaksana sehingga kehilangan kepercayaan pada suaminya dengan merugikan dirinya sendiri berdasarkan sesuatu indikasi sumir yang belum jelas masalahnya. Adapun secara eksternal memang tidak menutup kemungkinan ada banyak indikasi yang mengarah kepada kelayakan suami untuk dicemburui, dicurigai ataupun diwaspadai seperti penampilan genit, mata keranjang maupun ‘gatelan’.

Meskipun demikian, rasa cemburu sebenarnya tidak hanya dihinggapi kaum wanita saja melainkan juga kaum pria. Kalau ada sebutan istri pencemburu yang sering mengganggu keleluasaan ruang gerak suami, juga ada istilah suami cemburuan yang jealous melihat kemajuan istri yang positif ataupun terhadap perangainya yang di matanya selalu mencurigakan. Semuanya itu yang ideal memang seharusnya ditepis dengan cara mencegah rasa cemburu untuk berubah menjadi duri dalam daging, pasir dalam pikiran bayangan hitam yang menyelimuti perasaan maupun dengan cara klarifikasi (tabayyun), koreksi (tanashuh), maupun introspeksi (muhasabah) secara lapang dada, kepala dingin dan pikiran jernih sebelum segalanya terjadi. Sebab, jika tidak maka keadaan rumah tangga akan menjadi semakin genting, kritis, parah dan susah mengobatinya yang berakibat pada kesengsaraan. Bukankah Allah telah berpesan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)

Dalam hal manajemen kecemburuan ini agar tidak menyengsarakan semuanya, Imam Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin (hal.241-242) menganjurkan para wanita muslimah untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya terdapat isteri-isteri yang suci.” (QS. Al Baqarah:25). Yaitu dengan membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya, sikap kepribadian yang menyakiti hati suami, dan menjauhkan dari benak mereka untuk memikirkan pria lain selain suami mereka.

Namun begitu, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang kontra produktif. Imam Al Munawi dalam kitab Al-Faidh justru menyatakan bahwa wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh Rabbnya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat Allah, maka sifat tersebut berada dalam perlindungan-Nya dan mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).

INGAT...!!!
Kehilangan rasa cemburu akan memicu tumbuhnya sikap ketidakpedulian pada pasangan hidup dan keluarga baik para istri maupun suami dengan membiarkan penampilan, perilaku dan aktivitas keluarga mereka tanpa kontrol (muraqabah) dengan dalih saling percaya meskipun realitas di depan mata mengundang fitnah dan membawa indikasi negatif akan membuka peluang bagi penodaan kehormatan dan citra keluarga sangat dibenci dalam Islam yang mana Nabi melaknat perangai dayyuts yakni kehilangan rasa cemburu pada keluarga agar tidak jatuh kepada kemaksiatan.
Beliau juga bersabda: “Orang-orang mukmin itu pencemburu dan Allah lebih pencemburu.” (HR. Muslim).
Cemburu dalam arti yang positif di sini harus didasari cinta (mahabbah) karena Allah, bukan karena emosi hawa nafsu dan egoisme agar keluarga terselamatkan dari api neraka.

Abu Faraj menjelaskan dalam An-Nira bahwa menurut Mu’awiyah terdapat tiga macam kemuliaan, yaitu sifat pemaaf, mampu menahan lapar dan tidak berlebihan dalam memiliki rasa cemburu (yang tidak pada tempatnya). karena berlebihan itu merupakan hal melampaui batas dan merupakan suatu kezhaliman terhadap pasangannya.

Cemburu demi kebenaran dan ketaatan merupakan dasar perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Untuk itu, apabila tidak terdapat kecemburuan dalam hati seorang yang beriman, maka sudah dapat dipastikan tidak ada dorongan untuk berjuang dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar padanya yang dimulai dari diri dan keluarganya. (QS.AT-Tahrim:6) Oleh karena itu, Allah menciptakan sebagian dari tanda kecintaan-Nya untuk berjuang sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah:54)

Kecemburuan yang pada tempatnya akan bernilai ibadah dan dicintai Allah yakni cemburu terhadap sesuatu pelanggaran nilai syariah secara pasti dan jelas. Namun kebalikannya, kecemburuan akan bernilai maksiat dan dibenci Allah yang justru akan merenggangkan tali cinta kasih suami-istri, mengganggu ketenteraman keluarga dan menyengsarakan hidup bersama jika hal itu cuma mengada-ada, su’udzon (negative thinking), syak wasangka, curiga terhadap sesuatu yang belum jelas dan pasti, serta cemburu buta secara bodoh karena rasa was-was yang tidak pada tempatnya itu berasal dari setan (QS. An-Naas:3-6).
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kecemburuan itu ada yang disukai oleh Allah dan ada yang dibenci oleh-Nya. Adapun kecemburuan yang disukai adalah kecemburuan pada hal-hal yang pasti, sedangkan yang dibenci oleh-Nya adalah kecemburuan pada hal-hal yang tidak pasti.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Dengan demikian, rasa cemburu ada dua macam. Pertama adalah cemburu yang merupakan fitrah manusia, yaitu cemburu netral yang dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan pencemaran citra dan atau sikap melampaui batas. Cemburu seperti itu dianggap akhlaq mulia yang patut dimiliki oleh setiap orang beriman. Kedua, adalah cemburu yang merugikan, dibenci dan terlarang, yaitu rasa cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Ketika pikiran sedang dikuasai prasangka buruk, dapat saja kita menuduh orang yang tidak bersalah. Di atas itu semua, rasa cemburu yang tidak beralasan dapat merusak dinamika dan ketenteraman kehidupan rumah tangga.
Rasulullah pernah bersabda: “Rasa cemburu ada yang disukai Allah dan ada pula yang tidak disukai-Nya. Kecemburuan yang disukai Allah adalah yang disertai alasan yang benar. Sedangkan yang dibenci ialah yang tidak disertai alasan yang benar.” (HR. Abu Daud).

Api cemburu buta yang tidak pada tempatnya dapat menghanguskan kebenaran dan melahirkan tindakan gegabah ataupun aniaya. Kondisi demikiankah yang menjadi asbabun nuzul dari surat At-Tahrim di atas yang memberikan pelajaran tentang arti cinta dan cemburu sehingga cinta kepada Allah harus didudukkan yang paling tinggi sehingga cemburu tidak akan keluar dari rel kesucian cinta kepada Allah, meskipun semula berangkat dari fitrah alamiah dari rasa cemburu.
Rasulullah pernah bertanya pada istrinya, Aisyah Ummul Mukminin RA.: “Apakah engkau pernah merasa cemburu?” Aisyah menjawab, “Bagaimana mungkin orang seperti diriku ini tidak merasa cemburu jika memiliki seorang suami seperti dirimu.” (HR. Ahmad).

Ketika Rasulullah sampai di Madinah bersama Shafiya yang sama-sama hijrah dan yang beliau nikahi di perjalanan menuju Madinah, Aisyah berkata: “Aku menyamar dan keluar untuk melihatnya. Tetapi, Rasulullah mengetahui apa yang kulakukan dan beliau berjalan ke arahku. Maka aku pun bergegas meninggalkan beliau. Namun beliau mempercepat langkahnya hingga menyusulku. Kemudian beliau bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang dirinya.’ Aisyah menjawab dengan nada sinis, ‘ia adalah wanita Yahudi, putri seorang Yahudi.” (HR. Ibnu Majah).

Dari Aisyah RA, ia berkata: "pernah suatu malam, Nabi saw ada bersamaku dan beliau pada saat itu mengira aku telah tertidur. Maka beliau keluar dan aku pun mengikuti jejak langkah beliau. Sungguh aku mengira bahwa beliau pergi untuk menemui istrinya yang lain, hingga beliau sampai pada suatu tempat pemakaman. Lalu beliau pun berbelok dan aku pun mengikutinya. Beliau mempercepat langkahnya dan aku pun mempercepat langkahku. Kemudian beliau bergegas kembali ke rumah dan aku pun berlari agar dapat mendahuluinya menuju rumah. Setelah beliau memasuki rumah, beliau bertanya mengapa nafasku terengah-engah seperti orang yang menderita asma sedang mendaki suatu bukit. Aku pun menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada beliau, bahwa tadi aku mengikuti ke mana beliau pergi. Beliau pun bertanya, ‘apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan tega menyakiti dirimu?'” (HR. Muslim)

Kecemburuan fitrah yang demikian juga dimiliki oleh kalangan sahabat Nabi yang laki-laki. Sebagian sahabat Rasulullah pernah mempunyai rasa cemburu yang agak berlebihan, seperti Umar bin Khatab dan Zubair bin Awwam.
Mengenai kecemburuan Umar, dikisahkan sebuah hadits dimana Rasulullah menceritakan: “Ketika aku tidur, aku bermimpi bahwa diriku ada di surga. Tiba-tiba ada seorang wanita sedang berwudhu di dekat sebuah istana surga. Aku bertanya, ‘milik siapa istana itu?’ mereka mengatakan, ‘milik Umar’, lalu aku teringat pada kecemburuan Umar, segera saja aku pergi berlalu. Umar lantas menangis mendengar cerita beliau seraya berkata, ‘Apakah kepadamu aku akan cemburu wahai Rasulullah?’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kecemburuan Zubair dikenal melalui riwayat yang dikisahkan istrinya, Asma binti Abu Bakar RA. “Pada suatu hari aku dalam perjalanan pulang sambil memikul biji gandum di kepala. Lalu aku bertemu dengan Rasulullah (iparnya) yang tengah bersama seseorang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku dan mengatakan: ‘ikh ….Ikh…’(menyuruh untanya untuk menunduk) agar dapat memboncengku di belakangnya. Aku merasa malu berjalan bersama laki-laki dan teringat pada kecemburuan Zubair, sebab Zubair termasuk orang yang sangat pencemburu. Rasulullah saw mengerti bahwa aku merasa malu, lalu beliau pergi berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan Sa’ad bin Ubadah pernah berkata: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama isteriku, niscaya aku pukul ia dengan pedang pada bagian yang tajam (untuk membunuhnya).” Maka Rasulullah berkata, ‘apakah kalian heran akan kecemburuan Sa’ad, sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripadaku.’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Qais bin Zuhair juga pernah berkata: “Aku ini adalah tipe orang yang memiliki sifat pencemburu, orang yang cepat merasa bangga dan memiliki perangai yang kasar. Akan tetapi, aku tidak akan merasa cemburu, sampai aku melihat sendiri dengan mata kepalaku. Aku juga tidak merasa bangga sampai aku berbuat sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Aku juga tidak akan berlaku bengis sampai diriku benar-benar dizhalimi.”

Meskipun demikian, namun berkat rahmat Allah, berbagai peraturan syariat mampu menjinakkan dan mengendalikan kecemburuan para sahabat tersebut. Terdapat kisah seorang sahaya perempuan Umar ikut shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid Nabawi. Dikatakan kepadanya: ‘mengapa kamu keluar rumah, sedangkan kamu tahu Umar tidak senang akan hal itu dan akan merasa cemburu?’ ia menjawab, ‘Apa yang menghalanginya untuk melarang aku (keluar rumah untuk pergi ke masjid)?’ Lanjutnya, ‘ia justru dihalangi untuk melarangku demikian oleh sabda Rasul ‘janganlah kamu larang hamba wanita Allah untuk pergi ke masjid’.” (HR. Bukhari).

Fenomena yang beragam ini dalam menyikapi kecemburuan memang sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap makna kecemburuan di samping oleh pembawaan pribadi, karakter atau temperamen individu. Namun, terdapat titik temu yang menjadi pegangan dalam hal kecemburuan yakni dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar, melindungi harga diri dan keluarga serta mencegah kemungkinan terjadinya fitnah yang mencemarkan dan menodai kesucian keluarga berdasarkan indikasi kuat, bukti yang nyata serta gejala yang pasti dalam bingkai baik sangka (husnuudzdzan / positive thinking) yang lebih mendahulukan keutuhan keluarga shalihah agar senantiasa dalam ridha Allah SWT dan syariat-Nya. Wallahu A’lam Wa Billahit taufiq wal Hidayah.

jika ada kesalahan, itu murni dari saya. jika benar, semua murni dari ALLAH. wallahu 'alam...

26 Des 2011

BAHKAN RASULULLAHPUN TIDAK BISA MENERAWANG

Belum lama ini masjid di dekat rumah saya mendapat musibah. Kotak infaq yang terdapat di dalam masjid dibobol pencuri. Ini sudah kejadian yang kedua kalinya, setahu saya. Namun musibah yang lebih besar, salah seorang pengurus masjid melontarkan ide untuk meminta bantuan ‘ustadz’ kenalannya yang bisa menerawang siapa dan ada dimana pelakunya. Saya sendiri tidak tahu ide itu akhirnya dilaksanakan atau tidak. Semoga tidak.
Miris sekali seorang yang notabene pengurus masjid melontarkan ide yang demikian. Yaitu meminta bantuan ‘ustadz’ yang lebih tepat kita katakan sebagai dukun, yang mengaku mengetahui hal-hal gaib dengan ilmu sihir ataupun bantuan jin. Padahal jelas meminta bantuan kepada dukun adalah perbuatan musyrik dalam Islam.
من أتى كاهنا فصدقه بما قال ؛ فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
Barangsiapa mendatangi dukun dan membenarkan perkataannya, ia telah kufur terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 8/270. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 3387)
Mungkin ada yang bertanya, apa tidak mungkin si ‘ustadz’ itu memang dikarunia ‘ilmu’ oleh Allah untuk mengetahui hal gaib, mungkin ia orang shalih yang diberi keutamaan? Kita tanyakan kembali kepada penanya, lebih mulia mana antara ‘ustadz’ tersebut dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Sedangkan RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam saja tidak mengetahui barang hilang yang sebenarnya ada di dekat beliau. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره ، حتى إذا كنا بالبيداء أو ذات الجيش انقطع عقد لي ، فأقام رسول الله صلى الله عليه وسلم على التماسه ، وأقام الناس معه ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فأتى الناس أبا بكر رضي الله عنه ، فقالوا : ألا ترى ماصنعت عائشة ؟ ! أقامت برسول الله صلى الله عليه وسلم وبالناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فجاء أبو بكر رضي الله عنه ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، واضع رأسه على فخذي قد نام ، فقال حبست رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ؟ ! قالت عائشة : فعاتبني أبو بكر وقال : ما شاء الله أن يقول ، وجعل يطعن بيده في خاصرتي ، فما منعني من التحرك إلا مكان رسول الله صلى الله عليه وسلم على فخذي ! فنام رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أصبح على غير ماء ، فأنزل الله عز وجل آية التيمم . فقال أسيد بن حضير : ما هي بأول بركتكم يا آل أبي بكر ! قالت : فبعثنا البعير الذي كنت عليه ، فوجدنا العقد تحته
Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam pada beberapa perjalanan beliau. Tatkala kami sampai di Al-Baidaa atau di daerah Dzatul Jaisy, kalungku terputus. Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang ikut bersama beliau pun ikut berhenti mencari kalung tersebut. Padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci (dalam keadaan berwudu) dan tidak membawa air. Sehingga orang-orang pun berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Ia membuat Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci dan tidak membawa air. Maka Abu Bakar pun menemuiku, lalu ia mengatakan apa yang dikatakannya. Lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk menghindar kecuali karena Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam yang sedang tidur di atas pahaku. Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam terus tertidur hingga subuh dalam keadaan tidak bersuci. Lalu Allah menurunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Lalu kami pun menyiapkan unta yang sedang aku tumpangi, ternyata kalung itu berada di bawahnya”. (HR. An Nasa-i no.309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i)
Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam yang mulia saja tidak bisa menerawang barang hilang yang ada di dekatnya, apatah lagi si ‘ustadz’ ? Dan beliau tidak terpikir untuk melakukannya (menerawang). Beliau mengambil sebab yang benar untuk mendapatkannya, yaitu dengan mencari. Dan, andai meminta bantuan jin itu halal, sudah barang tentu tidak sulit bagi beliau melakukannya.

MEMILIH PASANGAN IDAMAN SESUAI SYAR'I

Memilih Pasangan Idaman

Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.
Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.
Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
3. Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya,
وان نظر إليها سرته
“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا
“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuatizzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (LihatManhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami
Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:
عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏
“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.
Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تعس عبد الدينار، والدرهم، والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:
1. Bersedia taat kepada suami
Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.
2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا
“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll.
Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.
3. Gadis lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عليكم بالأبكار ، فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti  sahabat Jabir bin Abdillahradhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)
4. Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.
Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.
Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian ini.
Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.
Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
إذا هم أحدكم بأمر فليصلِّ ركعتين ثم ليقل : ” اللهم إني أستخيرك بعلمك…”
“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Maraji’:
  1. Al Wajiz Fil Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz Bab An Nikah, Syaikh Abdul Azhim Badawi Al Khalafi, Cetakan ke-3 tahun 2001M, Dar Ibnu Rajab, Mesir
  2. Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, terjemahan dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif ilal Ya, Usamah Bin Kamal bin Abdir Razzaq, Cetakan ke-7 tahun 2007, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  3. Bekal-Bekal Menuju Pelaminan Mengikuti Sunnah, terjemahan dari kitab Al Insyirah Fi Adabin Nikah, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan ke-4 tahun 2002, Pustaka At Tibyan, Solo
  4. Manhajus Salikin Wa Taudhihul Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa’di, Cetakan pertama tahun 1421H, Darul Wathan, Riyadh
  5. Az Zawaj (e-book), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, http://attasmeem.com
  6. Artikel “Status Anak Zina“, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. , http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/