13 Nov 2011

HALALAN WA THAYYIBAN

HALALAN WA THAYYIBAN

Saya pernah ditanya (saya merasa belum pintar, cuma kebetulan ditanya dan saya jawab sesuai pengertian saya) tentang bagaimana pendapat saya ketika ada sepasang manusia menikah secara diam-diam karena belum mendapat ridho dari istri yang pertama, padahal keduanya sudah saling suka dan si lelaki merasa sanggup berpoligami. jawaban saya mereka berdua mengundang peluang berbuat dzolim pada diri sendiri dan orang lain.
kenapa ??? Sebab, istrimu belum rela suaminya memperistri madunya.
Apalagi, kalian menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi.

Ditinjau dari sudut pandang fiqih (munakahat), perbuatan suami menikah lagi tidaklah salah. Hukum Islam memberi peluang kepada kaum pria untuk berpoligami. Hanya saja, Islam itu bukan terdiri dari fiqih belaka. Unsur-unsur lainnya masih ada, bahkan mungkin lebih penting. Diantaranya adalah unsur adab atau akhlaq.
Untuk ilustrasi pembanding, perhatikanlah shalat berjamaah di masjid. Menurut fiqih, aurat pria hanyalah antara pusar dan lutut kakinya. (Malah saya pernah dengar, ada ulama yang berpandangan bahwa aurat pria hanyalah alat kelaminnya.) Dengan demikian, bershalat dengan bertelanjang dada pun tidaklah salah selama auratnya tertutup.
Lantas, apakah hanya karena “tidak salah”, kita para pria bershalat jamaah di masjid dengan bertelanjang dada? Kalau ini yang kita lakukan, bayangkanlah bagaimana tanggapan masyarakat. Mereka akan menilai bahwa Islam kurang beradab. Akibatnya, terhambatlah kita dalam mendakwahkan kemuliaan Islam.
Oleh karena itu, pertimbangan kita bukanlah sekadar benar-salah, melainkan juga baik-buruk, pantas-tak pantas, dan sebagainya. Dalam terminologi Islam, kita mengenalnya sebagai “halalan wa thayyiban”. (Halal bermakna “boleh”; thayyib berarti “baik, patut, indah, dan sebagainya”).
Demikian pula pada kasus diatas. Menikah dengan istri yang baru tanpa sepengetahuan istri terdahulu tidaklah salah, tetapi kurang thayyib. Memang, kebaikannya ada, bahkan mungkin tidak sedikit, tetapi keburukannya lebih signifikan. Diantaranya:
1. Mengacaukan sendi-sendi masyarakat (dengan menyuburkan perselingkuhan, walaupun halal namun prosesnya masuk kategori selingkuh),
2. Menjadikan rumah tangganya kurang sakinah (ada pihak yang merasa dikhianati sehingga mudah hancur),
3. Di samping juga membuat diri sendiri kurang menaruh perhatian pada perasaan dan kepentingan orang lain, yang dalam hal ini terutama ialah istri terdahulu.

saya mohon maaf apabila ada salah dalam penulisan.
saya minta agar saudara/i yang kurang setuju dengan tulisan diatas menghargai pendapat saya.
saya tidak anti poligami, bahkan saya berniat menikah lagi, insyaallah kalau ALLAH dan istri saya meridhoi niat saya, namun saya tidak akan meninggalkan apalagi menghancurkan kapal yang saya miliki untuk mendapatkan kapal yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar